Pemandian Clereng
Pemandian clereng terletak di desa Mrunggi, Sendangsari, Pengasih, Kulon Progo. Jika anda berada di Kabupaten Kulon Progo ,anda yang suka rekreasi dapat menyempatkan datang ke Pemandian Clereng. Tempat ini adalah salah satu objek wisata dengan konsep alamiah. Air yang bersumber dari mata air perbukitan Clereng yang di bawahnya mengalir mata air jernih yang merupakan keindahan asli lingkungan sekitar Pemandian Clereng. Selain itu sumber air juga dimanfaatkan sebagian besar masyarakatnya memanfaatkannya untuk air minum dengan dibangunnya tempat produksi air mineral yang diberi label “AirKu”& juga sebagai irigasi petanian. Dalam merasakan segarnya mata air murni, pengunjung dapat mandi, bermain air ataupun sekedar mencuci muka.
Akses menuju pemandian ini sangat mudah. apabila anda dari arah kota Wates kita dapat menempuhnya dengan jarak kira - kira 5 km ke arah utara. Akses menuju lokasi pemandian ini sangat mudah, kita akan menemui jalan beraspal yang memudahkan kita akses untuk menuju Pemandian Clereng. Dengan mudahnya akses jalan yang akan di tempuh kita dapat menggunakan kendaraan roda empat / roda dua.
Sejarah Pemandian Clereng
Secara administratif Pemandian Clereng terletak di dusun Mrunggi , namun hal menyebabkan lokasi tersebut dinamakan Pemandian Clereng karena warga sekitar lebih sering menamainya dengan kata akhiran Clereng bukan Mrunggi. Letak pemandian ini berada persis di dekat perbatasan antara dusun Mrunggi dan dusun Clereng jadi tidak salah bila warga sekitar lebih familiar dengan nama Pemandian Clereng.
Di dalam Pemandian Clereng terdapat sebuah makam seorang Kyai yang bernama Kyai Pakujati serta ada sebuah petilasan dari Sunan Kalijaga yang sering dikunjungi oleh para peziarah & tiga buah kolam, yaitu dua kolam buatan dan satu kolam yang terbentuk secara alami. Di kolam alami inilah tersebar mitos dikalangan masyarakat sekitar tentang awal mula munculnya mata air yang terus mengalir hingga sekarang.
Menurut beberapa sumber, pemandian ini awal mulanya merupakan sebuah mata air yang muncul karena sebuah tongkat yang ditancapkan oleh pemiliknya dan setelah dicabut bekas tancapan itu mengeluarkan sumber mata air. Ada dua pendapat mengenai siapa yang menancapkan tongkat itu. Pendapat pertama melalui beberapa sumber internet yaitu oleh Sunan Kalijaga, sementara itu ada pendapat lain yaitu Ki Sodewo yang merupakan pendapat dari salah satu sesepuh dusun Clereng yang bernama Mbah Satidjo.
Konon dusun Clereng tengah dilanda kekeringan panjang, sumber – sumber air yang ada pada saat itu kering dan akibatnya warga sekitar clereng pun mengalami krisis air. Hingga pada akhirnya Sunan Kalijaga sampai menapakkan kakinya di Kulon Progo. Dengan kempuannya Beliau menancapkan sebuah tongkat ke tanah, setelah mencabutnya maka keluarlah sebuah mata air yang berguna untuk mengatasi kekeringan yang melanda warga Clereng pada saat itu.
Versi yang kedua merupakan versi yang dikemukakan oleh salah satu sesepuh dusun Clereng yang bernama Mbah Satidjo. Menurut Mbah Satidjo mata air yang terdapat di Pemandian Clereng itu merupakan ulah dari Ki Sodewo. Ki Sodewo adalah putra dari Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Citrowati. Nama asli dari Ki Sodewo adalah Bagus Singlon.
Pada suatu ketika Ki Sodewo mengalami peperangan yang tidak berkehabisan dengan Kertoyuto. Kertoyuto memiliki sebuah senjata andalannya yaitu sebuah cemeti atau sebuah cambuk wasiat yang sakti, konon cambuk ini dapat mebuat sungai menjadi kering dengan sekali tebasan dan dapat membelah gunung pula. Sementara itu Ki Sodewo mempunyai senjata berupa tongkat yang dapat memunculkan mata air dengan sekali tancap ke tanah.
Pada suatu ketika Ki Sodewo mengalami peperangan yang tidak berkehabisan dengan Kertoyuto. Kertoyuto memiliki sebuah senjata andalannya yaitu sebuah cemeti atau sebuah cambuk wasiat yang sakti, konon cambuk ini dapat mebuat sungai menjadi kering dengan sekali tebasan dan dapat membelah gunung pula. Sementara itu Ki Sodewo mempunyai senjata berupa tongkat yang dapat memunculkan mata air dengan sekali tancap ke tanah.
Setelah sekian lama berperang pasukan Ki Sodewo mengalami kemunduran dan hampir kalah karena kekurangan makanan dan minum. Akhirnya. Ki Sodewo menancapkan tongkatnya guna membuat mata air untuk keperluan logistic bagi pasukannya. Konon air yang keluar merupakan air dari Kedung Dangdaeng dari Kabupaten Purworejo.
Oleh karena mata air yang dibuat oleh Ki Sodewo akhirnya pasukannya kembali berperang. Dengan kekuatan yang telah kembali, pasukan Ki Sodewo menyerang pasukan Kertoyuto, dan dalam peperangan yang terakhir ini Ki Sodewo beserta pasukannya berhasil memenangkannya. Kemenangan Ki Sodewo beserta pasukanya terjadi pada saat menjelang matahari terbit, dan pada saat terbitnya matahari seluruh pasukan Ki Sodewo melihat matahari yang bersinar terang atau dalam bahasa jawanya “mak cliring” dan oleh karena itu pula dinamakan dusun itu dengan nama “Clereng” .
Kertoyuto yang sekarat akhirnya meninggal. Makam kertoyuto sendiri tidak diketahui keberadaannya, sementara itu makam dari Ki Sodewo ada di makam dusun Sideman,Giripeni. Menurut versi inilah bagaimana awal mula mata air yang terdapat di Pemandian Clereng muncul.
Pemandian Clereng mempunyai nilai mistis yang cukup tinggi. Terdapat kolam yang terbentuk secara alami oleh mata air di Pemandian Clereng tersebut, di dalam kolam itu terdapat banyak ikan – ikan yang sengaja di pelihara. Salah satu ikan yang terdapat di dalam kolam tersebut ada seekor ikan gabus yang dianggap keramat oleh warga setempat. Menurut sumber, ikan itu merupakan jelmaan dari penguasa mata air Pemandian Clereng. Konon ikan itu dapat mengedipkan matanya, secara umum ikan gabus maupun sebagian besar ikan tidak mempunyai kelopak mata untuk melindungi matanya, melainkan terdapat selaput tipis yang melindungi mata seekor ikan.
Sebelum dibangunnya tempat produksi air mineral “AirKu” milik dinas Kulon Progo, ikan itu masih berada di kolam alami itu. Namun, setelah pembangunan tempat produksi air mineral itu dibangun ikan gabus itu lantas dipindahkan ke kolam di sebuah rumah tidak jauh dari Pemandian Clereng.
Setelah dipindahkannya ikan gabus itu ada beberapa kejadian tentang meninggalnya pengunjung yang datang ke Pemandian Clereng. Korban yang meninggal bukan merupakan warga sekitar Clereng. Kejadian itu lantas disangkutpautkan dengan dipindahkannya ikan itu. Benar tidaknya hal tersebut belum ada bukti yang kongkrit mengenai hal itu. Hingga saat ini hal itu masih sebatas mitos yang terjadi di kalangan masyarakat.
Konon guna menghentikan jatuhnya korban kembali maka diadakan tradisi rutin pementasan seni tari Jathilan yang diadakan setiap hari raya Idul Fitri tiba. Menurut sumber jika pementasan Jathilan tidak diadakan maka akan memakan korban bagi pengunjung Pemandian Clereng. Tidak hanya sebatas mengadakan pementasan Jathilan, kelompok Jathilan yang diundang harus dari kelompok Jathilan dari Wonosidi Lor,Wates. Menurut sumber, mengapa harus kelompok Jatilan Wonosidi Lor dikarenakan penguasa mata air Pemandian Clereng menyukai kelompok Jathilan itu. Katanya kuda lumping yang terdapat di kelompok Jathilan itu dapat menari sendiri di malam tertentu. Benar tidaknya sebuah mitos masyarakat, semua itu kembali pada pribadi masing – masing individu pendengarnya, bagaimana ia mensikapi sebuah hal yang ia dengar.
Oleh karena mata air yang dibuat oleh Ki Sodewo akhirnya pasukannya kembali berperang. Dengan kekuatan yang telah kembali, pasukan Ki Sodewo menyerang pasukan Kertoyuto, dan dalam peperangan yang terakhir ini Ki Sodewo beserta pasukannya berhasil memenangkannya. Kemenangan Ki Sodewo beserta pasukanya terjadi pada saat menjelang matahari terbit, dan pada saat terbitnya matahari seluruh pasukan Ki Sodewo melihat matahari yang bersinar terang atau dalam bahasa jawanya “mak cliring” dan oleh karena itu pula dinamakan dusun itu dengan nama “Clereng” .
Kertoyuto yang sekarat akhirnya meninggal. Makam kertoyuto sendiri tidak diketahui keberadaannya, sementara itu makam dari Ki Sodewo ada di makam dusun Sideman,Giripeni. Menurut versi inilah bagaimana awal mula mata air yang terdapat di Pemandian Clereng muncul.
Pemandian Clereng mempunyai nilai mistis yang cukup tinggi. Terdapat kolam yang terbentuk secara alami oleh mata air di Pemandian Clereng tersebut, di dalam kolam itu terdapat banyak ikan – ikan yang sengaja di pelihara. Salah satu ikan yang terdapat di dalam kolam tersebut ada seekor ikan gabus yang dianggap keramat oleh warga setempat. Menurut sumber, ikan itu merupakan jelmaan dari penguasa mata air Pemandian Clereng. Konon ikan itu dapat mengedipkan matanya, secara umum ikan gabus maupun sebagian besar ikan tidak mempunyai kelopak mata untuk melindungi matanya, melainkan terdapat selaput tipis yang melindungi mata seekor ikan.
Sebelum dibangunnya tempat produksi air mineral “AirKu” milik dinas Kulon Progo, ikan itu masih berada di kolam alami itu. Namun, setelah pembangunan tempat produksi air mineral itu dibangun ikan gabus itu lantas dipindahkan ke kolam di sebuah rumah tidak jauh dari Pemandian Clereng.
Setelah dipindahkannya ikan gabus itu ada beberapa kejadian tentang meninggalnya pengunjung yang datang ke Pemandian Clereng. Korban yang meninggal bukan merupakan warga sekitar Clereng. Kejadian itu lantas disangkutpautkan dengan dipindahkannya ikan itu. Benar tidaknya hal tersebut belum ada bukti yang kongkrit mengenai hal itu. Hingga saat ini hal itu masih sebatas mitos yang terjadi di kalangan masyarakat.
Konon guna menghentikan jatuhnya korban kembali maka diadakan tradisi rutin pementasan seni tari Jathilan yang diadakan setiap hari raya Idul Fitri tiba. Menurut sumber jika pementasan Jathilan tidak diadakan maka akan memakan korban bagi pengunjung Pemandian Clereng. Tidak hanya sebatas mengadakan pementasan Jathilan, kelompok Jathilan yang diundang harus dari kelompok Jathilan dari Wonosidi Lor,Wates. Menurut sumber, mengapa harus kelompok Jatilan Wonosidi Lor dikarenakan penguasa mata air Pemandian Clereng menyukai kelompok Jathilan itu. Katanya kuda lumping yang terdapat di kelompok Jathilan itu dapat menari sendiri di malam tertentu. Benar tidaknya sebuah mitos masyarakat, semua itu kembali pada pribadi masing – masing individu pendengarnya, bagaimana ia mensikapi sebuah hal yang ia dengar.