Ringkasan Sejarah Politik Bali
Di Balik perdamaian & ketertiban yang tampak jelas pada zaman kolonial tahun 1908-1945, kebijakan Belanda memperburuk ketegangan sosial dan ekonomi lama serta membangkitkan ketegangan baru. kemudian pada masa Rezim kolonial, dibuat cemas oleh bangkitnya komunisme & nasionalisme pada dekade 1920-an, yang melancarkan kebijakan untuk memulihkan tradisi Bali.
Proyek tersebut menuntut pemulihan kembali tradisi praktik kultural, religius, dan hukum yang tradisional. selain itu juga meminta dipulihkannya keluarga-keluarga penguasa lama, yang para anggota terkemukannya, yang pernah dianggap lalim oleh Belanda & dikirim ke pengasingan, kemudian kini dipandang sebagai penjamin mutlak dari tatanan tradisional yang harmonis.
Sruktur negara kolonial, khususnya kekuatannya yang dahsyat & sistem pemerintahan yang tak langsung berfungsi sebagai pembatas kemungkinan adanya oposisi politik terbuka. Sebenarnya hal itu mendorong konflik politik & sosial di kalangan orang Bali, yakni terutama di sepanjang silsilah kasta & kelas serta di kalangan puri & tidak membangkitkan solidaritas melawan negara Belanda.
Sebagai contoh pada tahun 1920-an, Bali mengalami suatu debat publik yang panas perihal hak-hak istimewa kasta, di mana kaum jelata (sudra) yang terdidik berhadapan dengan para wakil konservatif dari 3 kasta tertinggi (triwangsa). Meskipun perdebatan itu dipangkas oleh Belanda, namun ketegangan kasta berlanjut dibawah permukaan & merebak lagi selama Revolusi Nasional & pada masa pasca kemerdekaan.
Dinamika serupa sangat jelas ada diranah ekonomi. Bahkan sebelum Depresi memuncakkan problem ekonomi, orang Bali sudah menderita ditindih salah satu beban pajak terberat di Hindia Belanda, & masih juga dituntut melaksanakan kerja rodi rata-rata 25 hari per tahun untuk pemerintahan/para agen pribuminya. Di saat efek dari Depresi mulai terasakan sepenuhnya pada sekitar tahun 1932, kemelaratan, kelaparan dan tuna-tanah menjadi akut. Sebab, para pejabat Bali dibandingkan dengan para pejabat Belanda, bertanggung jawab atas sistem pajak & penghisapan rodi di tingkat lokal, maka kejengkelan & kemarahan juga cenderung tertuju kepada para pejabat Bali ketimbang negara Kolonial Belanda.
Kemudian saat keruntuhan rezim kolonial Belanda & pemberlakuan administrasi militer Jepang yang sama kuatnya pada Maret 1942 menandai dimulainya masa perubahan yang mendalam pada politik Bali. Dengan dilanjutkannya pemerintahan tak langsung oleh Jepang, digabungkan dengan sistem penghisapan kekayaan yang kian kejam, memuncakkan konflik yang ada di kalangan orang Bali, telah mengakibatkan konflik baru, & sementara kekuasaan dahsyat negara Jepang, sebagaimana negara Belanda sebelumnya, yang mencegah pertentangan/konflik politik terbuka, beragam upayanya dalam memobilisasi penduduk Bali untuk kepentingan perang memberi pengalaman yang tak pernah didapat sebelumnya bagi banyak pemuda Bali dalam organisasi politik & militer.
Upaya itu juga menimbulkan perubahan penting dalam hal wacana politik di Bali. Signifikansi politis dari perkembangan ini menjadi jelas dengan runtuhnya kekuasaan negara Jepang & proklamsi kemerdekaan Indonesia oleh pemimpin kaum Republikan, Soekarno pada Agustus 1945. Orang Bali segera mulai bergerak secara politis & militer demi membela & menentang Republik Indonesia yang baru dideklarasikan & melunaskan dendam dengan lama pada para tersangka kolaborator. Penundaan selama lebih dari 6 bulan sebelum tentara Belanda tiba di Bali untuk mengantikan administrasi Jepang memberi kesempatan yang unik bagi berlanjutnya mobilisasi & konflik politik di kalangan orang Bali. Kesempatan ini hampir sepenuhnya diciptakan oleh pertentangan antara administrasi militer Inggris di Jawa, yang tidak ingin menjadi terlalu meluas di Hindia Belanda & otoritas militer & sipil Belanda yang mencari kemungkinan untuk secepatnya bercokol kembali di Bali.
Kesempatan yang tercipta oleh runtuhnya kekuasaan negara sentral memberikan beragam hasil di berbagai bagian Bali yang berbeda. Perbedaan lokal dalam struktur kelas, akses terhadap pendidikan, hubungan rural produksi, & pola persaingan di kalangan puri mempengaruhi distribusi dukungan sosial & geografis untuk republikanisme Indonesia pada 1945-1946.
Wilayah basis utama dukungan kaum Republikan adalah kerajaan sentral Buleleng, Badung, Tabanan, & untuk beberapa lama feodal relatif lemah. Kerajaan Timur Karangasem, Bangli, Gianyar, & Klungkung, di mana puri yang berku'asa tetap kuat, membentuk tulang punggung antirepublikanisme.
Dalam hasratnya untuk kembali ke Hindia, para ahli strategi Belanda gagal memperkirakan perubahan yang dialami Bali semenjak 1942. Masih percaya bahwa Bali “tidak berminat dalam politik”, & bahwa masyarakatnya “tertata rapi” & hamonis, mereka menyimpulkan bahwa tidak ada,/ hanya sedikit, perlawanan terhadap pemberlakuan kembali pemerintahan Belanda pada tahun 1946. Ternyata mereka keliru, di saat mendarat di Pantai Sanur pada Maret 1946, pasukan Belanda memasuki pulau yang sudah terpecah di antara para pendukung & penentang kemerdekaan Indonesia. Perlawanan militer yang sengit oleh tentara Republik di Bali berlangsung sampai 1948, & sesudah perlawanan itu, perjuangan politik terus berlanjut. Merespon sikap perlawanan tersebut, para ahli strategi Belanda mulai memakai orang Bali yang “bermaksud baik” & para pemimpin feodal mereka untuk memata-matai, melaporkan, & membunuh kaum Republikan, yang mereka tuding sebagai “teroris”.
Dengan demikian itu, strategi Belanda mendorong permusuan & bentrokan terbuka di kalangan orang Bali. Menjelang akhir 1949, sekitar 2000 orang Bali tewas, kira-kira sejumlah 700 orang di pihak Belanda yang berperkara, dibandingkaan hanya segelintir serdadu Belanda. Perkembangn politik eksternal terus mempengaruhi konflik lokal selama masa revolusi. Kemudian, sesudah tahun 1946, beberapa negara Republik, kolonial Belanda, & Negara Indonesia Timur (NIT) yang disetir Belanda bersaing memperebutkan kekuasaan tertinggi di Bali.
Perlu diketahui bahwa orang Bali tidak berpaling secara seragam kepada salah satu dari pusat-pusat politis itu, tetapi kepada semuanya dengan kadar berbeda-beda & pada waktu yang berlainan. Pengarahan & rangsangan yang merebak dari pusat-pusat yang bergeser itu membantu membentuk strategi politik & militer berbagai kelompok yang berbeda di Bali, sering kali dengan cara yang sangat terperinci. Pentingnya lagi, mereka bersinggungan dengan, & memperkuat, ketegangan yang sudah ada.
Menjelang tahun 1949 terjadi perselisihan hebat antara orang Bali yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia & mereka yang bekerjasama dengan Belanda, & negara bonekanya, NIT. Perselisihan politik ini juga memiliki dimensi kultural yang kuat. Kaum Republikan berbicara tentang perlunya menghapuskan hak-hak istimewa “feodal” & kasta, sementara lawannya berbicara soal perlunya melestarikan “tradisi” & kebudayaan Bali. Dinamika politik nasional & internasional juga membantu mengaksentuasikan keterbelahan di dalam kubu kaum Republikan. Yang khususnya penting adalah keretakan antara badan utama para pejuang kemerdekaan yang turun gunug, pada awal 1948, sebelah ditandatanganinya persetujuan gencatan senjata antara Belanda & Republik (Perjanjian Renville), & mereka yang meneruskan perjuangan bersenjata sampai bulan Januari 1950.
Tercapainya kemerdekaan Indonesia pada akhir 1949 tidak mengakhiri konflik politik di kalangan orang Bali. Sebaliknya perselisihan antara kaum kolaborator (tulen/tersangka) & kaum Republikan,serta keterbelahan di dalam kubu kaum politik Republikan itu sendiri, terus diekspresikan melalui kekerasan politik terbuka & perjuangan yang belarut-larut untuk mengontrol aparatus negara lokal. Meskipun demikian riasan sosial & politik para protagonisnya berubah sepanjang lima belas tahun berikutnya, perjuangannya pada hakikatnya tetap tidak kunjung selesai.
Di tahun 1965 menjelang kudeta Oktober, pelbagai golongan yang bertentangan secara diametral dalam politik, ekonomi, & kepentingan kelas mengontrol elemen-elemen aparatus negara yang berbeda, seperti militer, polisi, birokrasi, & eksekutif. Kudeta ini menyediakan dalih & kesempatan bagi konsolidasi kekuasaan politik satu golongan, dipimpin PNI, atas tanggungan golongan lain, PKI & sekutunya.
Dari tahun 1950-1965, konflik politik ditransformasikan oleh kondisi ekonomi yang memburuk dengan serius, kebijakan ekonomi pemerintahan, & perubahan serentak pada struktur kelas Bali, Implementasi agresif perombakan penguasaan tanah di Bali, dipimpin PKI & organisasi pertaninya, serta dibantu oleh elemen-elemen kunci dalam negara lokal turut meningkatkan polarisasi politik di sepanjang silsilah kelas sesudah 1963.
Perjuangan demi tanah menyiapkan panggung bagi reaksi hebat & keras oleh para tuan tanah & sekutunya dalam PNI setelah kudeta & kudeta balik antikomunis Oktober 1965. Konflik politik di kalangan orang Bali kian diperkuat oleh ketergantungan finansial negara lokal terhadap pusat, & oleh bangkitnya kaum borjuis Bali baru dengan ikatan erat pada negara lokal. Tidak memiliki otonomi finansial apa pun yang signifikan, negara lokal tidak mempunyai sarana maupun motivasi untuk mendukung pemberontakan daerah melawan pusat pada akhir dekade 1950-an. Sebaliknya, negara lokal pun bertindak bertindak selaku pengedar lokal patronase, dengan kaum kaum borjuis pribumi sebagai pemetik keuntungan utamanya. Sistem itu memunculkan dugaan tentang bias & kronisme politik & menahan dinamika konflik politik lokal.
Di saat negara lokal semakin bergeser ke kiri pada dekade 1960-an, dengan Gubernur Suteja yang Sukarnois selaku pemimpin, banyak pihak yang merasa tersisihkan dari alur patronase berbondong-bondong mendukung PNI, sehingga memperkencang reaksi politik melawan PKI & Suteja sesudah Oktober 1965. Kelemahan & ketiadaan otonomi aparatus negara lokal berarti bahwa rangsangan politis yang datang dari pusat cenderung memperkuat & mentranspormasikan perselisihan politik di Bali, khususnya pentingnya dalam proses. Proses yang dimaksud adalah partai-partai politik tingkat nasional & sistem kompetisi & mobilisasi politik di bawah sistem Demokrasi Terpimpin Sukarno sesudah tahun 1949.
Menjelang awal dekade 1960-an, perjuangan demi kekuasaan negara lokal di Bali terekspresikan lewat meningkatnya pengerahan massa siap tempur & konfrontasi antara para pendukung PNI & PKI. Dengan begitu, ribuan rakyat awam menjadi berbagi ikatan solidaritas yang kuat dengan para anggota lain dalam organisasi politiknya, & antagonisme yang mendalam terhadap mereka yang berada di kubu lawan.
Gunung Agung Meletus |
Bersama kondisi ekonomi yang memburuk dengan serius, gugusan bencana alam & wabah sampai pada awal dekade 1960-an memicu spekulasi bahwa Bali sedang mengalami ketidakseimbangan kosmis. Letusan Gunung Agung pada 1963 di tengah berlangsungnya upacara agama yang jelimet untuk memulihkan keseimbangan itu, dilihat sebagai alamat malapetaka yang lebih besar. Bertepatannya peristiwa tersebut dengan bangkitnya militansi PKI & khususnya dengan kampanye perombaka penguasaan tanahnya yang agrasif, menimbulkan dugaan bahwa PKI, entah bagaiman bertanggungjawab atas ketidakseimbangan itu. Usulan semacam itu dengan sadar ditiupkan oleh PNI, & pihak-pihak lain yang, karena alasan, merasa terancam oleh/antagonistik terhadap, PKI.
Menggemakan tuduhan Belanda & kaum konservatif Bali terhadap Republikan selama Revolusi, mereka mencap PKI-Bali sebagai antireligius & musuh kebudayaan Bali. Tuduhan ini nyatanya tidak terelakan & mengaksentuasikan intensitas konflik pada dekade 1960-an & menyediakan motivasi & dalih yang ampuh untuk penghukuman keras sesudah kudeta 1965. Yang juga signifikan adalah posisi militer di Bali yang relatif lemah. Tidak seperti unit-unit di tempat lain di Indonesia, yang memperoleh hak atas lahan tanah yang luas & aset lainnya dengan nasionalisasi perusahaan asing pada akhir dekade 1950-an, militer di Bali tidak memiliki basis ekonomi yang kuat & mandiri. Akibatnya, militer di Bali cenderung, bergerak secara oportunistik seiring arus politik haluan kiri di Bali. Tetapi, ketika arus itu berbalik dengan telak pada akhir tahun 1965, militer di Bali cepat mengubah haluannya. Meskipun sejumlah perwira ditangkap & diadili karena disangka mendukung PKI & kudetanya, sebagian besar lolos dengan menjadi ujung tombak dalam serangan terhadap para tersangka komunis. Hingga Oktober 1965, konflik politik yang sengit sampai batas tertentu ditampung oleh akses yang setara di kedua belah pihak terhadap lembaga-lembaga negara kunci di tingkat lokal.
Tetapi dengan kudeta, keseimbangan yang rapuh itu pecah, & terbukalah jalan bagi penghukuman keras oleh PNI & pengikutnya, dengan bantuan hangat dari militer nasional & lokal. Bagi yang tidak akrab dengan wacana sejarah & politik Bali modern. pengamatan tentang pentingnya daya-daya ekonomi negara, hubungan kelas, partai politi & militer dalam membentuk sejarah Bali mungkin tampak tidak luar biasa, bahkan biasa-biasa saja. sesungguhnya, apabila pengamatan itu dibuat dalam hubungannya dengan masyarakat lain dengan sejarah yang sama-sama mudah berubah & berdarahnya, boleh jadi memang demikian. Tetapi mengajukan klaim/interpretasi semacam itu tentang sejarah Bali adalah berjalan melawan arus kuat opini ilmiah & populer.
Demikianlah ulasan mengenai Sejarah Politik Bali, yang pada kesempatan yang baik ini dapat dibahas disini. Semoga anda dapat dengan mudah memahami ulasan di atas. Kiranya cukup sekian, kurang lebihnya mohon maaf, & sampai jumpa.
*Rajinlah belajar demi Bangsa & Negara, serta jaga kesehatanmu!!!