Rabu, 22 April 2020

Hubungan Sultan Agung dan VOC Pra Konflik 1628-1629

Mulanya sikap Sultan Agung jelas dan tegas, beliau ingin berdagang dengan pihak manapun asalkan tidak mengganggu kemerdekaan wilayah kekuasaannya. Sikap yang demikian ini ditunjukkan pada utusan pertama VOC, Caspar Van Surck yang mendatangi Mataram di tahun 1614, dan disaat itu Sultan Agung menyampaikan sebuah pesan yakni beliau berkata:
Buatlah sebuah benteng atau bila dikehendaki sebuah rumah sedemikian kuat sehingga dapat bertahan bila diserbu musuh, sampai saya dapat memberi bantuan.... Saya tahu benar bahwa tuan-tuan datang tidak untuk menduduki tanah Jawa.... Saya tidak bermusuhan dengan Banten, akan tetapi kalau tuan-tuan diganggu oleh Banten, saya akan memberikan 40 gorap (atau Kapal) sebagai bentuan kepada tuan-tuan, balaslah perbuatan mereka (H. J. De Graaf, 1986: 54).
Maka dari perkataan tersebut Sultan Agung memang tidak menganggap VOC sebagai sebuah ancaman bagi kedaulatan Mataram. Beliau bahkan bersedia membantu kesulitan-kesulitan VOC dalam menghadapi tekanan-tekanan kerajaan Banten serta bersedia membantu memfasilitasi pembangunan pangkalan dagang di Jepara.
 Mulanya sikap Sultan Agung jelas dan tegas Hubungan Sultan Agung dan VOC Pra Konflik 1628-1629

Dalam rangka pembangunan pangkalan dagang atau disebut Loji, VOC di Jepara diputuskan untuk meminta bantuan bahan bangunan melalui kepala dagang Andries Soury dan kepala Loji Steven Doenssen kepada Gubernur Kendal, Kyai Sundana. Tanggal 27 Juli 1615 Kyai Sundana berkunjung ke loji yang saat itu sedang tahap pembangunan, dan disepakati bahwa dari pihak Mataram bersedia menyediakan bahan bangunan, khususnya batu bata, untuk pembangunan loji dengan ukuran 25 wadem pesegi (1Vadem= 1,88m) dengan imbalan 4 buah meriam. Serta disepakati pula, sebagai angsuran pertama diserahkan terlebih dahulu dua meriam berikut segala perlengkapannya (H. J. De Graaf, 1986: 55-56).

Kesepakatan ini tidak berjalan dengan baik, terbukti dengan diutusnya duta VOC untuk mengajukan keberatan-keberatan mereka kepada Sultan Agung sebanyak dua kali. Duta pertama ialah Gerret Fredericks Druyff yang datang pada tahun 1616, mengadukan masalah suplai batu bata yang tidak sesuai dengan kesepakatan serta ada masalah kesulitan mendapatkan beras.  Namun kebutuhan beras selanjutnya dapat dipenuhi dengan baik sampai dengan tahun 1618 di saat Mataram menerapkan larangan ekspor beras karena sedang mengalami krisis pangan. Karena larangan ini maka dicabutlah untuk pihak VOC setelah duta kedua, Cornelis Van Maseyek dapat berunding dengan Temunggung Singaranu di Mataram. Pada tanggal 22 Juli 1618 rombongan Cornelis Van Maseyck tiba kembali di Jepara dengan membawa bukti tetulis tentang pembebasan bea cukai dan pemenuhan kebutuhan beras (H. J. De Graaf, 1986: 58-59).

Hubungan pribadi dengan VOC dengan Mataram sangat buruk, itu dikarenakan sikap kepala pedagang VOC di Jepara, yakni Balthasarvan Eyndhoven sangat buruk dan tidak menyenakan, dan selain itu juga penyerangan serta perampasan kapal-kapal Mataram oleh VOC juga banyak terjadi. Berdasarkan 2 Hal atau alasan ini, maka kemudian syah bandar Jepara, Koja Hulubalang pada bulan Agustus 1618 atas nama Sultan Agung menyerang loji VOC. Serangan ini nampaknya menewaskan tiga orang Belanda dan menawan yang lainnya (Ricklefs, 2005: 69). Dekatnya waktu antara penyampaian bukti tertulis dari pusat Mataram dengan penyerangan loji tersebut cukup menimbulkan pertanyaan, mungkinkah dalam surat tersebut juga terdapat perintah tersirat untuk menyerang loji VOC?. Padahal sebelumnya utusan tersebut telah diterima dengan ramah tamah di pusat Mataram dan telah pula memberikan berbagai macam persembahan. Ataukah ini hanya semacam tindakan yang tergesa-gesa dari syah bandar Koja Hulubalang?. Dengan mengingat kemudian surat kedua datang dari Tumenggung Singaranu untuk membebaskan para tawanan Belanda dan memperbolehkannya untuk datang dan berdagang lagi di Jepara sepanjang tidak mengulangi lagi perbuatan-perbuatan jahatnya (H. J. De Graaf, 1986: 61).

Kejadian ini rupanya membuat JP Coen selaku Gubernur Jenderal VOC di Batavia marah besar. Meskipun demikian ia menahan dirinya, untuk tidak menggunakan cara kekerasan militer, ia lebih mengutamakan kepentingannya mendapatkan logistik dari Mataram dan menahan diri untuk membalas perbuatan Mataram. Barulah di bulan November 1618, diperintahkannya Ven der Marer untuk “menghukum” orang-orang Jawa yang salah. VOC mengadakan ekspedisi lintas darat dengan 160 pasukan. Dengan itu akhirnya berhasil menduduki benteng Jepara, membakar loji dan rumah-rumah disekitarnya, dan merampas kapal-kapal di depan Demak dan Jepara, serta menewaskan sekitar 30 orang Jawa. ternyata tidak cukup ekspedisi itu saja, VOC masih juga melancarkan serangan untuk kedua kalinya pada 23 Mei 1619, termasuk juga membakar pos Maskapai Hindia Timur milik Inggris (Ricklefs, 2005: 69).

Penaklukan VOC atas Batavia di tahun 1619 merupakan titik balik menentukan, karena VOC telah melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan mereka dengan merebut sebagian pulau Jawa untuk diperintah dan dikuasai sendiri. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap fokus untuk menaklukan Surabaya telah menunda untuk sementara perhatiannya terhadap perubahan konstelasi politik di Batavia. Beliau bahkan melepaskan beberapa tawanan orang belanda dan memberikan bantuan beras pada tahun 1621 (H. J. De Graaf 1986: 60).

Sumber Bacaan
De Graaf H. J, 1986, Puncak kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (terjemahan Pustaka Grafiti Press), Jakarta: Pustaka Grafiti Press.
MC. Ricklefs, 2005, Sejarah Indonesia Modern (terjamahan Dharmono Hardjo Widjono), Jakarta: Gadjah Mada University Press.

Demikian Ulasan singkat yang bisa disampaikan terkait judul yang anda sudah baca, kurang lebihnya mohon maaf, dan selalu berusaha yang terbaik untuk selalu menyediakan informasi-informasi yang sesungguhnya ada manfaatnya. Terimakasih sudah berkunjung dan di share pada teman ada juga boleh. Jangan lupa juga sempatkan diri anda untuk membaca artikel lainnya. Good Bye.